Seolah menjadi isu tahunan, aturan penggunaan pengeras suara atau speaker di masjid atau musala selalu ramai diperbincangkan setiap memasuki Ramadan. Demikian pula tahun ini. Polemik aturan penggunaan pengeras suara kembali muncul.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai regulasi pengeras suara itu masih diperlukan. Menurut Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas, aturan pengeras suara itu sejatinya sudah lama ada. Yaitu, lewat instruksi Dirjen Bimas Islam Kemenag yang diterbitkan pada 1978. Aturan itu masih diterapkan hingga sekarang.
Dalam lampiran instruksi itu diatur penggunaan pengeras suara masjid atau musala untuk ibadah salat lima waktu. Juga untuk kegiatan selama Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Pada Ramadan, tadarus atau membaca Alquran menggunakan pengeras suara ke dalam. Sementara itu, takbir Idul Fitri maupun Idul Adha menggunakan pengeras suara ke luar.
Anwar mengatakan, keberadaan masjid atau musala itu sangat beragam. Karena itu, aturan yang diberlakukan juga bisa menyesuaikan lingkungan tempat masjid atau musala tersebut berada. Dia mencontohkan, masjid di lingkungan pesantren biasanya menggunakan pengeras suara ke luar dan ke dalam untuk tadarus. ”Di lingkungan yang mayoritas masyarakatnya umat Islam, mungkin juga tidak masalah. Karena masyarakatnya sudah terbiasa,” katanya kemarin (12/3).
Sebaliknya, di lingkungan dengan masyarakat mayoritas non-Islam, memang sangat diperlukan kehati-hatian. Di lokasi seperti itu diperlukan aturan yang dibuat pemerintah.
Dia menyatakan bahwa penerapan kebijakan pengeras suara itu memang sangat beragam di masyarakat. Ada yang diterapkan dengan sangat longgar, tetapi ada juga yang diterapkan secara ketat. Semua itu, kata Anwar, tidak jadi masalah. ”Cuma, jika terjadi perselisihan di antara masyarakat, panduan dari Kemenag bisa dijadikan sebagai acuan atau bahan rujukan,” tuturnya.
Sementara itu, anggota DPD dari DKI Jakarta Dailami Firdaus meminta aturan soal pengeras suara itu dicabut. Sebab, menurut dia, aturan tersebut kurang memahami makna toleransi. Dia mengatakan, penggunaan pengeras suara dalam untuk kegiatan Ramadan merupakan bentuk kurang pemahaman soal makna toleransi. Aturan tersebut justru berpotensi mengusik kerukunan umat beragama di masyarakat.
Bang Dai, sapaan karibnya, mengatakan bahwa pelaksanaan pengeras suara selama ini tidak ada masalah. Apalagi, sudah ada aturan waktu serta tidak mengganggu orang beristirahat.
Dia menegaskan bahwa takmir atau pengurus masjid dan musala lebih memahami karakteristik masyarakat di wilayah masing-masing. Karena itu, aturan yang dibuat pemerintah pusat tersebut dinilai terlalu berlebihan. ”Jadi, hemat saya, daripada mengurusi soal pengeras suara, Menag lebih bagus memberikan program peningkatan kualitas ibadah selama bulan puasa ini,” tandasnya.
Pada bagian lain, Juru Bicara Kemenag Anna Hasbie mengatakan Surat Edaran 5/2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala yang merujuk aturan 1978 itu dikeluarkan untuk mewujudkan ketenteraman, ketertiban, dan kenyamanan bersama.
”Surat edaran ini tidak melarang menggunakan pengeras suara. Silakan tadarus menggunakan pengeras suara untuk jalannya syiar,” tuturnya. Tetapi, pengeras suara yang digunakan cukup speaker dalam. Anna menambahkan, edaran itu dibuat tidak untuk membatasi syiar Ramadan. (jpg)