Batam, Posmetrobatam.co: Masih lekat diingatannya, lima tahun silam menenteng map berkas mondar-mandir ke kantor birokrat Batam. Rut Maukari, berjuang sendiri menuntut keadilan sebagai ahli waris lahan yang dulunya kebun kini tegak tonggak bangunan rumah toko.
Hatinya sakit. Pembangunan terus berjalan. Sementara haknya belum dipenuhi. Karena itulah, Kamis (19/6) dibantu famili, ibu enam anak ini kembali ke lokasi.
“Dua minggu lalu kami sudah pasang plang, tapi hilang dicabut orang. Hari ini kami pasang lagi. Ini sebagai tanda bahwa lahan ini masih bersengketa,” kata Ruth siang itu berkaca-kaca.
Plang pengumuman itu bertuliskan: Tanah ini dalam sengketa di Pengadilan Negeri Batam. Nomor Perkara: 49/PDT G/ 2025/ PN.BTM. Dilarang melakukan peralihan Hak Atas Tanah ini sebelum putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Memang, perselisihan lahan kurang lebih satu hektare di wilayah Kelurahan Patam Lestari, Sekupang itu sedang bergulir di Pengadilan Negeri Batam. Rut, istri dari almarhum Pirter Maukari pemilik lahan meminta agar para pihak menghargai proses hukum sampai selesai.
Rut bercerita, awal mula persoalan ini terjadi di tahun 2014. Saat itu, seorang pria berinisial AM datang menemui almarhum suaminya dan meminta izin menggunakan lahan tersebut untuk membangun sekolah Yayasan Reuni Batam.
“Waktu itu dia bilang sekolahnya di ruko, dan ingin pindah. Suami saya setuju dan memberikan surat tebas untuk mengurus legalitas tanah ke BP Batam, tapi dengan syarat UWTO tetap dikembalikan ke kami. Tapi surat itu tidak pernah dikembalikan. Tahu-tahu tanah kami malah dijual ke pihak lain,” jelas Rut.
Ia mengklaim bahwa terdapat bukti perjanjian dan dokumen yang menunjukkan bahwa pengurusan awal ditujukan untuk yayasan, bukan untuk dijual ke pihak ketiga. Namun, tanah itu kemudian berpindah tangan ke sebuah perusahaan bernama PT MBR tanpa sepengetahuan ahli waris. Mereka mengakui, AM adalah dalang dari ini semua.
“Kami hanya minta hak sebagai ahli waris. Kami hidup dari jualan sayur. Jangan rampas hak kami begitu saja,” imbuhnya.
Sementara Kuasa hukum Rut Maukari, Saidi Amin, mengatakan pihaknya telah menempuh jalur hukum agar tidak terjadi keributan di lapangan. Ia menyatakan bahwa sejak 11 Juni 2025, sertifikat lahan tersebut sudah diblokir oleh pihak berwenang.
Pihaknya sudah melakukan pemblokiran atas nama PT MBR. Artinya, segala aktivitas pembangunan seharusnya dihentikan dulu sampai ada putusan inkrah dari pengadilan.
“Kalau tetap dilanjutkan, itu bentuk pelanggaran,” kata Saidi.
Dan selama lima tahun memperjuangkan hak kliennya, pihak perusahaan tidak pernah menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan masalah tersebut secara kekeluargaan. Bahkan, tidak pernah ada komunikasi antara perusahaan dan ahli waris.
“Silahkan saja membangun, tapi hak ahli waris harus diselesaikan dulu. Jangan nanti setelah berdiri bangunan, terjadi konflik baru. Kalau sudah begini siapa yang dirugikan? Tentu ahli waris,” ucapnya.
Saidi juga menyinggung adanya dugaan kolaborasi antara yayasan dan perusahaan dalam pengalihan lahan tersebut, tanpa melibatkan atau memberitahu ahli waris.
“Kami punya bukti kuat. Awalnya, lahan dua hektare ini memang diurus legalitasnya untuk yayasan. Tapi kemudian muncul nama PT MBR. Ini yang menjadi pertanyaan besar kami. Kenapa bisa terjadi perpindahan hak tanpa sepengetahuan pemberi kuasa?” lanjut Saidi.
Menurutnya, sejak tahun 1991, lahan tersebut merupakan lahan tidur yang dibuka oleh keluarga almarhum Pirter Maukari. Surat tebas dan pengakuan dari warga sekitar sudah dikantongi sebagai bukti pendukung klaim ahli waris.
Untuk menunjukkan bahwa status tanah tersebut masih dalam sengketa, pihak keluarga kembali memasang plang di lokasi pembangunan. Plang bertuliskan larangan aktivitas pembangunan karena tanah masih bersengketa, sebagai bentuk protes dan peringatan hukum.
Dikonfirmasi terpisah terkait hak ahli waris yang masih bermasalah, kuasa hukum PT MBR, Roy Wright belum bersedia memberikan keterangan resmi terkait itu.
Lantas seperti apa birokrasi di bagian lahan BP Batam saat itu? Ahli waris meminta, aktivitas pembangunan dihentikan. Apalagi per Juni 2025, sertifikat lahan sudah diblokir. Bagaimana nasib pembeli? (cnk)