POSMETROBATAM: Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang dibolehkannya kampanye di lingkungan kampus tanpa atribut menuai respon banyak pihak, salah satunya dosen sekaligus pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Irfa’i Afham.
Menanggapi putusan MK itu, Irfa’i Afham membeberkan dampak dan tantangan jika benar-benar terjadi di area kampus. Menurutnya, masuknya politik ke dalam kampus tak bisa terelakan terlebih saat dinamika politik semakin dinamis di era digitalisasi ini.
“Saya sepakat dengan kehidupan politik yang dinamis di lingkungan kampus karena di kampus menjadi tempat lahirnya ide-ide politik besar dan alternatif dalam konteks berbangsa dan bernegara,” kata Irfa’i Afham dikutip dari Website Universitas Airlangga pada Selasa (29/8).
Ia menuturkan adanya politik di kampus tak bisa terlepas dari sejarah yang pernah ada. Irfa’i mengatakan periode otoritarian di Indonesia lah yang membawa dampak partisipasi politik di kampus.
“Kita pernah mengalami 32 tahun era otoritarian di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Dampaknya adalah pasifnya keterlibatan politik di kampus. Mahasiswa dan dosen yang berpendapat kritis sering ada anggapan sebagai ancaman, bukan sebagai potensi untuk mengembangkan ide-ide besar dalam politik,” tambah Dosen Ilmu Politik tersebut.
Meski kampus merupakan bagian dari wadah mahasiswa dalam belajar berpolitik, namun mahasiswa harus tetap menjaga batasan sehingga tak ikut masuk ke dalam politik praktis.
“Batasan yang diperlukan adalah bagaimana institusi pendidikan tetap menjaga diri dari campur tangan politik praktis yang hanya fokus pada kemenangan dalam pemilu. Tetapi seharusnya juga mengarah pada agenda lebih besar yang terkait dengan nasionalisme,” ujar Irfa’i
Irfa’i Afham juga menyebut bahwa mahasiswa para penyelenggara kampanye di kampus harus tetap memperhatikan etika. menurutnya isu anti korupsi harusnya menjadi agenda utama untuk ditanamkan di kampus lewat ajang politik ini.
“Agenda anti korupsi seharusnya menjadi agenda utama dalam memperkuat budaya politik di kalangan mahasiswa, yang mencakup dalam pembentukan karakter yang toleran dan demokratis,” kata Irfa’i.
Ia juga tak menampik bahwa kampanye di kampus memiliki dampak baik dan buruk bagi mahasiswa. Dampak baiknya, Irfa’i menyebutkan kampanye bisa membentuk kultur kritis yang sehat bagi kalangan mahasisawa. Hal tersebut sebagaimana praktik kampanye yang ada di kampus-kampus luar negeri.
“Ketika saya belajar di Eropa, khususnya di Prancis, saya melihat suasan politik yang dinamis dimana mahasiswa, calon legislatif, calon walikota dan calon presiden berdiskusi tentang gagasan-gagasan. Ini sangat penting dalam membangun kultur kritis di kalangan mahasiswa,” tutupnya
Namun ada juga dampak buruk kampanye di kampus menurut Dosen Ilmu Politik, Universitas Airlangga ini. Salah satunya menimbulkan sikap intoleransi jika belajar dari pemilu terakhir di Indonesia pada 2019 silam. (jp group)