Natuna, Posmetrobatam.co: Ekspor ikan Kerapu dan Napoleon asal Natuna dan Anambas, Kepulauan Riau ke Hongkong terhenti. Pasalnya, kebijakan pengawasan ketat Pemerintah Beijing terhadap masuknya barang lewat jalur laut.
Kepala Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam, Semuel Sandi Rundupadang dikonfirmasi wartawan, Sabtu (31/5), mengatakan, terhentinya kapal-kapal Hongkong mengambil ikan kualitas ekspor di Natuna dan Anambas sudah terjadi sejak Maret dan berlangsung hingga saat ini.
“Informasi yang kami dapatkan salah satu penyebabnya karena Pemerintah Beijing memperketat pengawasan masuknya barang ke Hongkong lewat laut, sejak terjadinya perang dagang antara Amerika dan China,” kata Semuel.
Dia menjelaskan, terjadi ketegangan antara Pemerintah Beijing dengan Hongkong sejak perang dagang terjadi, di mana pemerintah Negeri Tirai Bambu itu mencurigai adanya penyeludupan barang lewat jalur laut yang masuk ke Hongkong, sehingga pengawasan menjadi lebih ketat dari biasanya.
Kondisi tersebut, kata dia, membuat kapal-kapal Hongkong tak lagi ke pelabuhan muat yang ada di Natuna dan Anambas untuk mengambil ikan-ikan ekspor.
Kondisi serupa juga dialami pembudidaya ikan ekspor di wilayah Bitung, Makassar, Tarakan dan Manado lebih dulu sebelum Kepri.
Namun, lanjut dia, beberapa pelaku usaha menggunakan jasa pengiriman lewat jalur udara untuk mengirim ikan kerapu ke Hongkong.
“Kalau lewat udara tidak ada masalah, salah satu yang masih mengirimkan lewat udara dari Makassar, mereka masih kirim,” katanya.
Hanya saja, kata dia, biaya pengiriman lewat udara lebih mahal dibanding lewat laut. Untuk pengiriman dari Makassar ke Hongkong sebesar Rp35 ribu per kilonya, untuk satu kargo seberat 25 koli itu, hanya berisi ikan 8 Kg, sisanya adalah air.
Dia menyebut, jenis ikan yang dikirim lewat jalur udara yang berkualitas super seperti Kerapu Sunu, sehingga biaya pengiriman yang mahal masih bisa tertutup dengan harga ikan.
Berbeda dengan ikan kerapu yang kebanyakan dibudidaya oleh nelayan di Natuna dan Anambas, yakni jenis kerapu macan dan kerapu kertang, yang harganya bila dikirim lewat udara belum menutupi ongkos kirim.
“Kalau pesawat itu biaya kargo pengiriman mahal, dikhawatirkan tetap maksa kirim biaya ongkos tidak nutup, pelaku usaha akan rugi,” ujar Semuel.
Semuel menyebut kondisi tersebut tidak hanya merugikan nelayan pembudidaya atau pelaku usaha, tetapi juga pemerintah yang kehilangan pendapatan dari aktivitas ekspor ikan hidup melalui jalur laut.
Dia menyebut, solusi terkait persoalan ini berada di tataran tingkat pemerintah pusat dalam hal ini KKP dengan Pemerintah Beijing.
“Kami telah melaporkan situasi ini ke pusat, untuk penyelesaian persoalan menjadi domain dari pemerintah pusat karena melibatkan dua negara,” ujar Semuel.
Sementara itu, sejumlah nelayan pembudidaya ikan kerapu dan napoleon di Natuna dan Anambas resah karena tidak beroperasinya kapal dari Hongkong yang menjemput hasil budidayanya.(ant)