POSMETROBATAM: Setidaknya ada 15 mantan narapidana (napi) kasus korupsi yang masuk daftar calon sementara (DCS) anggota DPR dan DPD RI.
Pencalonan itu memang dibolehkan regulasi. Namun, KPU diminta sejumlah pihak untuk mengumumkan nama mereka ke publik.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, semula pihaknya merilis 12 bacaleg dengan latar belakang status hukum sebagai mantan napi kasus korupsi. ’’Setelah itu, kami mendapat masukan dari masyarakat,’’ terangnya.
Setelah dicek kembali, ada tiga nama lagi mantan terpidana korupsi yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR dan DPD RI. Jadi, total ada 15 bacaleg. Tiga nama tambahan itu adalah Budi Antoni Aljufri (bacaleg Nasdem dari dapil Sumatera Selatan II).
Budi adalah mantan bupati Empat Lawang, yang merupakan eks napi korupsi dalam perkara suap ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Ada juga Eep Hidayat, bacaleg Nasdem dari dapil Jawa Barat IX, nomor urut 1. Eep adalah mantan bupati Sumedang yang merupakan eks terpidana korupsi dalam perkara biaya pungutan pajak bumi dan bangunan (PBB) Kabupaten Subang.
Berikutnya, Ismeth Abdullah, bacaleg DPD RI dari dapil Kepulauan Riau, nomor urut 8. Ismeth merupakan mantan gubernur Kepulauan Riau.
Kurnia mengatakan, sangat mungkin masih banyak mantan terpidana korupsi yang jadi bacaleg. Baik RI, provinsi, maupun kabupaten/kota. ’’Kami mendesak agar KPU segera mengumumkan kepada masyarakat terkait status hukum para bacaleg itu,’’ tegasnya.
Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera menyatakan, KPU memang harus melaksanakan tugasnya sesuai aturan. Jika aturannya bacaleg mantan napi itu wajib diumumkan ke publik, maka KPU harus menjalankannya.
’’Pemilih perlu mendapat kejelasan tentang calon yang akan dipilih pada Pemilu 2024,’’ paparnya.
Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi menjelaskan, Pasal 240 (1) huruf G UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa tidak ada larangan khusus bagi mantan napi kasus korupsi untuk mendaftar.
Namun, mereka wajib secara jujur dan terbuka mengemukakan kepada publik.
Mantan napi yang tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasar putusan pengadilan dapat menjadi caleg. Dari sisi yuridis, hal itu sudah diatur dalam UU. Pasal 43 ayat 1 dan 2 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan, setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam pemilu.
Namun, dari sisi etika, bisa jadi hal itu menyisakan masalah. Karena itu, sikap masyarakat terbelah. Ada yang pro dan kontra. Dengan demikian, semuanya bergantung pada masyarakat. Dia berharap para pemilih menggunakan hak pilihnya dengan cerdas dan benar.
’’Sehingga yang terpilih di Pemilu 2024 adalah caleg yang berkualitas, berintegritas, berkapasitas, dan menjadi jembatan aspirasi rakyat yang memperjuangkan kepentingan rakyat,’’ tandas Viva. (jp group)