Umat Islam yang mampu diwajibkan berpuasa selama sebulan pada bulan Ramadhan.

Namun, bagi mereka yang tidak mampu melakukannya karena mempunyai udzur dan ada kemungkinan bahwa udzurnya hilang sesudah Ramadhan, maka bisa mengganti puasa yang ditinggalkan dengan cara qadha. Allah SWT mewajibkan setiap muslim untuk berpuasa, puasa menjadi sesuatu yang baik dan bermanfaat.

Puasa dilakukan bagi umat Islam yang memiliki sebab langsung bagi tidak bisa berpuasa di bulan Ramadhan, entah karena sakit, hamil, menstruasi, usia, atau bepergian, ia harus mengganti atau mengqadha puasa yang ditinggalkan di lain waktu.

Namun, jika ia tidak mampu menggantinya dengan berpuasa, maka harus membayar fidyah dengan besaran atau nominal yang sesuai ketentuan.

Tidak bisa berpuasa di bulan Ramadhan, entah karena sakit, hamil, menstruasi, usia, atau bepergian, ia harus mengganti atau mengqadha puasa yang ditinggalkan di lain waktu. Namun, jika ia tidak mampu menggantinya dengan berpuasa, maka harus membayar fidyah dengan besaran atau nominal yang sesuai ketentuan.

Tata Cara Niat Fidyah
Fidyah adalah ibadah yang berkaitan dengan harta, sehingga disyaratkan niat dalam pelaksanaannya seperti zakat dan kafarat. Disebutkan dalam himpunan fatwa Imam Muhammad al-Ramli dikutip dari website baznas.banjarmasinkota.go.id memaparkan:

“Imam al-Ramli ditanya, apakah orang tua renta yang lemah berpuasa dan mengeluarkan fidyah wajib niat atau tidak?

“Imam al-Ramli menjawab bahwa ia wajib niat fidyah, sebab fidyah adalah ibadah harta seperti zakat dan kafarat, maka niatkanlah mengeluarkan fidyah karena tidak berpuasa Ramadhan” (Syekh Muhammad al-Ramli, Fatawa al-Ramli, juz 2, hal. 74).

Berikut contoh tata cara niat dalam penunaian fidyah:
Contoh niat fidyah puasa bagi orang sakit keras dan orang tua renta:

“Aku niat mengeluarkan fidyah ini karena berbuka puasa di bulan Ramadhan, fardlu karena Allah.”

Contoh niat fidyah bagi wanita hamil atau menyusui:

“Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan berbuka puasa Ramadhan karena khawatir keselamatan anaku, fardlu karena Allah.”

Contoh niat fidyah puasa orang mati (dilakukan oleh wali/ahli waris):

“Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan puasa Ramadhan untuk Fulan bin Fulan (disebutkan nama mayitnya), fardlu karena Allah”.

Contoh niat fidyah karena terlambat mengqadha puasa Ramadhan

“Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan keterlambatan mengqadha puasa Ramadhan, fardlu karena Allah”. Niat fidyah boleh dilakukan saat menyerahkan kepada fakir/miskin, saat memberikan kepada wakil atau setelah memisahkan beras yang hendak ditunaikan sebagai fidyah. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam bab zakat.

Dikutip dari website fai.uma.ac.id memaparkan bahwa Fidyah diberikan kepada fakir miskin sesuai jumlah hari yang ditinggalkan, yakni satu fidyah untuk satu hari untuk satu fakir miskin dan pemberiannya tersebut dapat dilakukan sekaligus.

Misalnya jika kita meninggalkan puasa 30 hari maka kita cukup membayar 30 porsi makanan kepada 30 orang miskin saja.

Dari website nu.or.id memaparkan bahwa adapun cara membayar fidyah menurut sebagian besar ulama, kadarnya adalah 1 mud (675 gram/6,75 ons) per hari puasa yang ditinggalkan, berupa makanan pokok daerah setempat, dalam konteks Indonesia adalah beras. Bila satu bulan penuh berarti 30 mud (20.250 gram atau 20,25 kilogram) beras.

Adapun ketentuan memberikan seluruh fidyah hanya kepada 1 orang miskin saja, sebagian ulama melarangnya. lalu, dengan cara diberikan hanya kepada 1 orang miskin saja sebanyak 30 hari.

Namun Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Majmu’ berkata jika itu boleh saja dilakukan, begitu juga dengan Al Mawardi yang mengatakan bahwa, “Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin sekaligus karena Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”

BACA JUGA:  Perhatikan, Delapan Kebiasaan Sehari-hari Ini Bisa Merusak Otak

Waktu Mengeluarkan Fidyah
Fidyah puasa untuk orang mati diperbolehkan dilakukan kapan saja, tidak ada ketentuan waktu khusus dalam fiqih turats. Sedangkan fidyah puasa bagi orang sakit keras, tua renta dan ibu hamil/menyusui diperbolehkan dikeluarkan setelah subuh untuk setiap hari puasa, boleh juga setelah terbenamnya matahari di malam harinya, bahkan lebih utama di permulaan malam. Boleh juga diakhirkan di hari berikutnya atau bahkan di luar bulan Ramadhan.

Tidak cukup mengeluarkan fidyah sebelum Ramadhan, juga tidak sah sebelum memasuki waktu maghrib untuk setiap hari puasa.

Ringkasnya, waktu pelaksanaan fidyah minimal sudah memasuki malam hari (terbenamnya matahari) untuk setiap hari puasa, boleh juga dilakukan setelah waktu tersebut. Al-Imam Muhammad al-Ramli pernah ditanya perihal tata cara niat fidyah bagi orang tua renta sebagai berikut:

“Bagaimana cara niat fidyah? Bagaimana cara mengeluarkan fidyah, apakah menjadi keharusan mengeluarkan fidyah setiap hari di dalam hari tersebut? Apakah boleh mengeluarkan fidyah keseluruhan Ramadhan dengan sekaligus, di awal Ramadhan atau tengahnya?”.
Beliau menjawab:

Ia (orang tua renta) diperkenankan memilih antara mengakhirkan penunaian fidyah dan mengeluarkan fidyah di setiap harinya, di dalam hari tersebut atau setelah selesainya hari tersebut. Tidak boleh mempercepat fidyah dari waktu-waktu tersebut, sebab terdapat unsur mendahulukan fidyah dari kewajibannya seseorang, yaitu berbuka puasa” (Syekh Muhammad al-Ramli, Fatawa al-Ramli, juz 2, hal. 74).

Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani menjelaskan:

“Tidak boleh bagi orang sangat tua, orang pincang, orang berumur yang mengalami kepayahan berpuasa, ibu hamil dan ibu menyusui, mempercepat penunaian fidyah satu mud sebelum Ramadhan, bahkan tidak boleh mempercepat fidyah untuk hari tertentu sebelum memasuki malamnya, sebagaimana tidak boleh mempercepat penunaian zakat untuk masa dua tahun. Boleh mempercepat fidyah setelah terbitnya fajar pada masing-masing hari dari bulan Ramadhan, bahkan boleh mempercepat fidyah setelah terbenamnya matahari di waktu malam untuk setiap harinya, bahkan sunah ditunaikan di permulaan malam”. (Syekh Nawawi al-Bantani, Qut al-Habib al-Gharib, hal. 223).

Fidyah dengan Uang
Harta yang dikeluarkan untuk fidyah disyaratkan berupa makanan pokok daerah setempat. Tidak cukup menggunakan harta jenis lain yang bukan merupakan makanan pokok, semisal uang, daging, tempe, dan lain-lain. Ini adalah pendapat mayoritas ulama madzhab empat, yaitu Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.

Pendapat ini berargumen dengan nash syariat yang secara tegas memerintahkan untuk memberi makanan pokok kepada fakir/miskin, bukan memberi jenis lain (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu, juz 9, hal. 7156).

Sedangkan menurut Hanafiyah, fidyah boleh ditunaikan dalam bentuk qimah (nominal) yang setara dengan makanan yang dijelaskan dalam nash Al-Qur’an atau hadits, misalnya ditunaikan dalam bentuk uang.

Ulama Hanafiyyah cenderung lebih longgar memahami teks-teks dalil agama yang mewajibkan pemberian makan kepada fakir miskin. Menurutnya, maksud pemberian makanan untuk fakir miskin adalah memenuhi kebutuhan mereka, dan tujuan tersebut bisa tercapai dengan membayar qimah (nominal harta) yang sebanding dengan makanan. (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu, juz 9, hal. 7156).

Konsep jenis makanan pokok yang dinominalkan versi Hanafiyyah terbatas pada jenis-jenis makanan yang tercantum secara eksplisit dalam hadits Nabi, yaitu kurma, al-burr (gandum)/tepungnya, anggur, dan al-sya’ir (jerawut). Hanafiyyah tidak memakai standar makanan pokok sesuai daerah masing-masing. Adapun kadarnya adalah satu sha’ untuk jenis kurma, jerawut, dan anggur (menurut sebagian pendapat, kadarnya anggur adalah setengah sha’). Sedangkan gandum atau tepungnya adalah setengah sha’ untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.

BACA JUGA:  Sempat Dikabarkan Pindah Agama, Devano Danendra Pacari Sahabat Mantan Kekasih, Beri Klarifikasi Lalu Tutup IG

Ringkasnya, ketentuan kadar, jenis dan kebolehan menunaikan qimah dalam fidyah menurut perspektif Hanafiyah sama dengan ketentuan dalam bab zakat fitrah (Syekh Ahmad bin Muhammad al-Thahthawi al-Hanafi, Hasyiyah ‘ala Maraqil Falah, hal. 688). Ukuran satu sha’ menurut Hanafiyyah menurut hitungan versi Syekh Ali Jum’ah dan Muhammad Hasan adalah 3,25 kg, berarti setengah sha’ adalah 1,625 kg. Sedangkan menurut hitungan versi Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami adalah 3,8 kg, berarti setengah sha’ adalah 1,9 kg.

Dengan demikian, cara menunaikan fidyah dengan uang versi Hanafiyyah adalah nominal uang yang sebanding dengan harga kurma, anggur atau jerawut, seberat satu sha’ (3,8 kg atau 3,25 kg) untuk per hari puasa yang ditinggalkan, selebihnya berlaku kelipatan puasa yang ditinggalkan.

Bisa juga memakai nominal gandum atau tepungnya seberat setengah sha’ (1,9 kg atau 1,625 kg) untuk per hari puasa yang ditinggalkan, selebihnya berlaku kelipatan puasa yang ditinggalkan.

Kategori Orang yang Wajib Membayar Fidyah

  1. Orang tua renta
    Kakek atau nenek tua renta yang tidak sanggup lagi menjalankan puasa, tidak terkena tuntutan berpuasa. Kewajibannya diganti dengan membayar fidyah satu mud makanan untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.

Batasan tidak mampu di sini adalah sekiranya dengan dipaksakan berpuasa menimbulkan kepayahan (masyaqqah) yang memperbolehkan tayamum. Orang dalam jenis kategori ini juga tidak terkena tuntutan mengganti (qadha) puasa yang ditinggalkan (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 428).

  1. Orang sakit parah
    Orang sakit parah yang tidak ada harapan sembuh dan ia tidak sanggup berpuasa, tidak terkena tuntutan kewajiban puasa Ramadhan. Sebagai gantinya, ia wajib membayar fidyah.

Seperti orang tua renta, batasan tidak mampu berpuasa bagi orang sakit parah adalah sekiranya mengalami kepayahan apabila ia berpuasa, sesuai standar masyaqqah dalam bab tayamum. Orang dalam kategori ini hanya wajib membayar fidyah, tidak ada kewajiban puasa, baik ada’ (dalam bulan Ramadhan) maupun qadha’ (di luar Ramadhan). Berbeda dengan orang sakit yang masih diharapkan sembuh, ia tidak terkena kewajiban fidyah. Ia diperbolehkan tidak berpuasa apabila mengalami kepayahan dengan berpuasa, namun berkewajiban mengganti puasanya di kemudian hari (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib, juz 2, hal. 397).

  1. Wanita hamil atau menyusui
    Ibu hamil atau wanita yang tengah menyusui, diperbolehkan meninggalkan puasa bila ia mengalami kepayahan dengan berpuasa atau mengkhawatirkan keselamatan anak/janin yang dikandungnya. Di kemudian hari, ia wajib mengganti puasa yang ditinggalkan, baik karena khawatir keselamatan dirinya atau anaknya.

Mengenai kewajiban fidyah diperinci sebagai berikut:
Jika khawatir keselamatan dirinya atau dirinya beserta anak /bayinya, maka tidak ada kewajiban fidyah. Jika hanya khawatir keselamatan anak/janinnya, maka wajib membayar fidyah. (lihat Syekh Ibnu Qasim al-Ghuzzi, Fath al-Qarib Hamisy Qut al-Habib al-Gharib, hal. 223).

  1. Orang mati
    Dalam fiqih Syafi’i, orang mati yang meninggalkan utang puasa dibagi menjadi dua:
    Pertama, orang yang tidak wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa karena uzur dan ia tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha, semisal sakitnya berlanjut sampai mati. Tidak ada kewajiban apa pun bagi ahli waris perihal puasa yang ditinggalkan mayit, baik berupa fidyah atau puasa.

Kedua, orang yang wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa tanpa uzur atau karena uzur namun ia menemukan waktu yang memungkinkan untuk mengqadha puasa. Menurut qaul jadid (pendapat baru Imam Syafi’i), wajib bagi ahli waris/wali mengeluarkan fidyah untuk mayit sebesar satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Biaya pembayaran fidyah diambilkan dari harta peninggalan mayit. Menurut pendapat ini, puasa tidak boleh dilakukan dalam rangka memenuhi tanggungan mayit. Sedangkan menurut qaul qadim (pendapat lama Imam Syafi’i), wali/ahli waris boleh memilih di antara dua opsi, membayar fidyah atau berpuasa untuk mayit.

BACA JUGA:  Laporkan Dewi Perssik Soal Pencemaran Nama Baik, Saipul Jamil Sebut Bukan Pedofil

Qaul qadim dalam permasalahan ini lebih unggul daripada qaul jadid, bahkan lebih sering difatwakan ulama, sebab didukung oleh banyak ulama ahli tarjih. Ketentuan di atas berlaku apabila tirkah (harta peninggalan mayit) mencukupi untuk membayar fidyah puasa mayit, bila tirkah tidak memenuhi atau mayit tidak meninggalkan harta sama sekali, maka tidak ada kewajiban apa pun bagi wali/ahli waris, baik berpuasa untuk mayit atau membayar fidyah, namun hukumnya sunah (Syekh Nawawi al-Bantani, Qut al-Habib al-Gharib, hal. 221-222).

  1. Orang yang mengakhirkan qadha Ramadhan
    Orang yang menunda-nunda qadha puasa Ramadhan—padahal ia memungkinkan untuk segera mengqadha sampai datang Ramadhan berikutnya, maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah satu mud makanan pokok untuk per hari puasa yang ditinggalkan. Fidyah ini diwajibkan sebagai ganjaran atas keterlambatan mengqadha puasa Ramadhan.

Berbeda dengan orang yang tidak memungkinkan mengqadha, semisal uzur sakit atau perjalanannya (safar) berlanjut hingga memasuki Ramadhan berikutnya, maka tidak ada kewajiban fidyah baginya, ia hanya diwajibkan mengqadha puasa.

Menurut pendapat al-Ashah, fidyah kategori ini menjadi berlipat ganda dengan berlalunya putaran tahun. Semisal orang punya tanggungan qadha puasa sehari di tahun 2018, ia tidak kunjung mengqadha sampai masuk Ramadhan tahun 2020, maka dengan berlalunya dua tahun (dua kali putaran Ramadhan), kewajiban fidyah berlipat ganda menjadi dua mud.

Syekh Jalaluddin al-Mahalli menjelaskan:

“Orang yang mengakhirkan qadha Ramadhan padahal imkan (ada kesempatan), sekira ia mukim dan sehat, hingga masuk Ramadhan yang lain, maka selain qadha ia wajib membayar satu mud makanan setiap hari puasa yang ditinggalkan, dan orang tersebut berdosa seperti yang disebutkan al-Imam al-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzab. Di dalam kitab tersebut, beliau juga menyebut bahwa satu mud makanan diwajibkan dengan masuknya bulan Ramadhan. Adapun orang yang tidak imkan mengqadha, semisal ia senantiasa bepergian atau sakit hingga masuk Ramadhan berikutnya, maka tidak ada kewajiban fidyah baginya dengan keterlambatan mengqadha. Sebab mengakhirkan puasa ada’ disebabkan uzur baginya adalah boleh, maka mengakhirkan qadha tentu lebih boleh”.

“Menurut pendapat al-ashah, satu mud menjadi berlipat ganda dengan berlipatnya beberapa tahun. Menurut pendapat kedua, tidak menjadi berlipat ganda, maksudnya cukup membayar satu mud dari beberapa tahun yang terlewat”. (Syekh Jalaluddin al-Mahalli, Kanz al-Raghibin, juz 2, hal. 87). Dikutip dari website baznas.banjarmasinkota.go.id

Golongan Orang yang Berhak Menerima Fidyah
Dilansir dari yatimmandiri.org memaparkan bahwa penyerahan Fidyah kepada Golongan orang yang Berhak Menerima Fidyah. Selain mengetahui cara membayar fidyah, tentu saja sebagai seorang muslim harus mengetahui siapa saja yang berhak dalam menerima fidyah. Yang berhak menerima fidyah adalah fakir miskin, fakir merupakan orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan, sehingga akan merasa sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Lalu, miskin merupakan orang yang telah memiliki pekerjaan dan harta tetapi masih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan kesehariannya. Anak yatim dan janda berhak untuk menerima fidyah jika mereka tergolong dalam kategori fakir miskin atau kondisi kekurangan dalam segi ekonomi. Apabila masih memiliki harta yang cukup, maka mereka tidak berhak untuk menerima fidyah.(jpg)