Inilah yang Disebut Musafir dan yang Diperbolehkan Tidak Puasa di Bulan Ramadhan?

79
Ilustrasi seorang musafr. (Pexels/Ted McDonnell )

Terdapat beberapa faktor mengapa seseorang diringankan untuk tidak puasa di bulan Ramdhan, salah satunya adalah musafir.

Namun sayangnya, masyarakat banyak yang belum benar-benar memahami musafir yang bagaimana yang diringankan dan boleh tidak puasa di bulan ramadhan.

Ya, tidak semua orang yang bepergian disebut musafir hingga diringankan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan.

Ada beberapa ketentuan hukum fiqih yang mengatus siapa yang disebut musafir hingga mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan.

Dikutip dari islam.nu.or.id, Senin (18/3), terdapat beberapa pendapat dari ulama ahli fiqih yang menerangkan hukum ini.

Beberapa diantaranya yakni Jalaludin Al-Mahali dalam kitab “Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin.”

Adapun dari Syekh Muhammad Khatib As-Syarbini melalui kitabnya yang berjudul “Mughnil Muhtaj.”

Melalui kedua sumber tersebut diambil sebuah ketentuan yang perlu diperhatikan tentang seseorang yang disebut musafir.

BACA JUGA:  Arus Balik, Besok KM Kelud dari Belawan Tiba di Batam Turunkan 3.741 Penumpang

Jarak tempuh
Mereka yang disebut musafir adalah mereka yang telah melakukan perjalanan dengan jarak yang diperbolehkannya melakukan qashar shalat

Dalam hal ini banyak perbedaan pendapat ulama karena dalil yang ada menggunakan ukuran bangsa Arab yakni empat burud.

Jika dikonfersikan ada yang menyebut 48 mil menurut ukuran Hasyimi, ada yang menyebut 40 mil menurut ukuran Bani Umayah.

Namun secara jelas Dr. Musthofa Al-Khin dan kawan-kawannya dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji mengkonversikan jarak ini setara dengan 81 kilometer.

Sementara ditambahkan dari an-nur.ac.id, jika mengacu pada Imam Hanafi, musafir minimal 1 farsah (sekitar 5 kilometer). Imam Syafi’I menyebut musafir minimal 16 farsah (sekitar 80 kilometer).

Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad, dikatakan musafir minimal jarak tempuhnya adalah 48 mil (sekitar 88 kilometer).

BACA JUGA:  28 Orang Lolos Tes Potensi Seleksi Calon Anggota KI 2023

Tujuan perjalanan
Seseorang yang dikatakan musafir adalah mereka yang memiliki tujuan perjalanan dengan hukum sekurang-kurangnya mubah (boleh), bukan dari mereka yang memiliki tujuan untuk kemaksiatan.

Misalnya, bepergian untuk sowan ke kiai yang jaraknya sangat jauh, atau bepergian menghadiri suatu acara kenegaraan yang jauh, menempuh pendidikan dan lain sebagainya.

Bukan bepergian untuk kemaksiatan seperti pergi ke rumah pacar, pergi untuk kejahatan dan lain sebagainya.

Pemberangkatan sebelum terbit fajar
Seorang musafir harus memulai perjalanannya sebelum terbit fajar atau malam hari. Bila ia melakukan perjalanan setelah terbit fajar, ia tidak diperbolehkan membatalkan puasanya, alias harus berpuasa penuh di hari itu.

Disebut juga bahwa sebelum fajar atau malam hari itu ia telah melewati batas tempat tinggalnya, jika dalam konteks Indonesia yakni telah melewati batas kelurahannya.

BACA JUGA:  Judi Sabung Ayam di Seberang Legenda Batamcenter Digerebek, Puluhan Orang dan Kendaraan Diangkut Polisi

Tentang bermukim
Jika seorang musafir kemudian dalam perjalanannya bermukim, ia dilarang berbuka puasa alias harus berpuasa.

Dengan kata lain, mereka yang disebut musafir adalah mereka yang melakukan perjalanan jauh secara terus menerus tanpa berhenti untuk bermukim.

Dikutip dari an-nur.ac.id, dikatakan bahwa bermukim sendiri toloh ukurnya lebih dari empat hari (menurut pendapat mayoritas ulama).

Disebut juga bahwa musafir harus sejak awal memiliki niatan untuk perjalanan jauh tanpa berhenti, atau tanpa menetap.

Jadi, tidak semua yang bepergian itu disebut sebagai musafir, dan diperbolehkan tidak puasa, melainkan ada ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan.(jpg)