Pada saat melaksanakan ibadah puasa, termasuk puasa di bulan Ramadhan, kita diharuskan untuk menahan diri tidak makan, minum atau memasukkan sesuatu ke dalam tubuh melalui mulut, telinga, dan hidung.
Ketika kita sedang sakit dan mendatangi dokter untuk berobat, terkadang kita diminta untuk disuntik atau diinfus untuk tujuan menyegarkan tubuh kita baik infus berupa vitamin atau yang lainnya. Bagaimana hukum melakukan suntik saat sedang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan ?
Atas pertanyaan tersebut di atas, Muhammad Arif Zuhri, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang mengatakan bahwa hal ini merupakan perkara yang diperselisihkan oleh ulama. Ada yang membolehkan, melarang, dan ada yang berada di kutub tengah diantara keduanya.
“Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid menyebut bahwa suntik saat puasa merupakan perkara yang diperselisihkan hukumnya oleh ahli fikih,” kata Muhammad Arif Zuhri kepada JawaPos.com.
Setidaknya ada tiga hukum suntik yang muncul di kalangan ulama atas kasus di atas. Pertama, membolehkan suntik atau suntikan tidak membatalkan puasa secara mutlak.
Menurut ulama yang membolehkannya, alasannya suntikan tidak masuk ke dalam kategori makan, minum, atau memasukkan sesuatu dari lubang mulut, hidung, telinga yang membatalkan puasa.
“Karena yang dimaksud dengan makan dan minum itu adalah jika makanan, minuman, atau zat lainnya masuk melalui mulut atau hidung. Suntik, vaksin, ataupun infus tidak masuk melalui mulut atau hidung,” ujarnya.
Ulama yang membolehkan pada kategori ini tanpa syarat. Baik isi dari suntikan itu berupa pemberian nutrisi pada tubuh memasukkan zat yang dikandung makanan dan minuman, maupun tidak memberikan nutrisi dan hanya cairan seperti vaksin dan lain-lain.
Suntik yang memasukkan zat makanan atau untuk pengobatan tidak membatalkan puasa karena dianggap berbeda dengan makan dan minum yang dapat mengenyangkan dan menghilangkan dahaga.
“Infus meskipun memberikan nutrisi pada tubuh, ia tidak mengenyangkan dan tidak menghilangkan dahaga. Prof. Syamsul Anwar dalam bukunya Fatwa Ramadan menyebut, ini diibaratkan dengan mandi. Mandi dapat menyegarkan tubuh, tapi tidak membatalkan puasa karena air tidak masuk melalui mulut ataupun hidung,” bebernya.
Hukum kedua, ulama menyatakan suntik membatalkan puasa secara mutlak. Ini kebalikan dari hukum yang pertama. Pandangan ini menyatakan haram hukumnya melakukan suntik baik untuk pemberian nutrisi ke dalam tubuh ataupun tidak.
“Karena puasa maknanya adalah menahan. Salah satunya, menahan dari masuknya sesuatu ke dalam tubuh baik melalui mulut, hidung, ataupun anggota badan lainnya. Maka apa pun yang masuk ke dalam tubuh baik melalui mulut, hidung, ataupun lainnya seperti suntik, infus, vaksin, akan dapat membatalkan puasa,” bebernya.
Hukum ketiga, pandangan ulama yang membedakan antara suntik untuk memberian nutrisi dan non nutrisi. Menurut pandangan ini, suntik atau infus yang memberikan nutrisi pada tubuh dinyatakan membatalkan puasa karena adanya kesamaan dengan makan dan minum untuk memberikan nutrisi pada tubuh.
“Maka setiap yang memberi nutrisi pada tubuh yang masuk dari pintu manapun hukumnya membatalkan puasa. Namun, jika suntik tidak memberi nutrisi pada tubuh, maka hukumnya tidak membatalkan puasa,” bebernya.
Dari ketiga pandangan ulama di atas, Muhammad Arif Zuhri menyatakan boleh saja kita memilih salah satunya.
“Secara pribadi, saya lebih memilih pendapat pertama bahwa suntik atau vaksin tidak membatalkan puasa baik memberikan nutrisi atau energi pada tubuh ataupun tidak. Karena makan atau minum itu sifatnya mengenyangkan dan menghilangkan rasa haus. Sedangkan suntik atau vaksin tidak menghilangkan rasa lapar dan dahaga. Dengan demikian, itu tidak sama dengan makan dan minum,” paparnya. (jpg)