Batam, posmetrobatam.co: Mencari solusi dan mendengarkan aspirasi dari para pelaku industri, Asosiasi Logistik dan Forwarder Pelabuhan Indonesia (ALFI) Kota Batam menggelar diskusi bersama pelaku usaha dan BP Batam untuk membahas masa depan Pelabuhan Batuampar, Rabu (19/2) di Labbers Batam.
Ketua ALFI Batam, Yasser Hadeka Daniel, menegaskan bahwa pengembangan Pelabuhan Batuampar masih menjadi tantangan besar dalam mendukung kelancaran ekspor dan impor di Batam.
“Selama ini yang terjadi tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada BP Batam atau pun Persero. Ini adalah tanggung jawab bersama untuk memastikan pelabuhan berkembang lebih baik ke depannya,” ujarnya.
Menurutnya, BP Batam dan Persero sebagai pengelola pelabuhan telah menunjukkan peningkatan performa dalam operasional Pelabuhan Batuampar. Namun, masih ada kendala yang harus segera diselesaikan agar efisiensi ekspor dan impor semakin optimal.
Sebagai salah satu pintu utama perdagangan internasional Indonesia, Pelabuhan Batuampar memiliki peran vital dalam arus logistik nasional. Yasser menyoroti berbagai kendala yang dihadapi pada tahun 2024 dan berharap tantangan tersebut dapat diatasi sejak awal tahun ini.
“Kami ingin memastikan bahwa segala hambatan yang ada, terutama dari sisi infrastruktur dan kebijakan, bisa segera diatasi,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya kesiapan BP Batam dan Persero sebagai operator pelabuhan. Menurutnya, peningkatan kerja sama antara ALFI dan kedua pihak tersebut menjadi kunci utama dalam memastikan efisiensi pelabuhan.
“Kami berharap Persero bisa memberikan lebih banyak manfaat bagi anggota ALFI. Batam sebagai wilayah strategis harus memiliki sinergi kuat antara sektor swasta dan pengelola pelabuhan,” tambahnya.
Saat ini, Yasser mengakui bahwa progres pengembangan Pelabuhan Batuampar masih berjalan lambat, meskipun terdapat beberapa peningkatan, seperti penambahan RTG crane oleh BP Batam dan Persero.
“Dalam waktu dekat, sekitar bulan April, akan ada tambahan 2-3 RTG crane untuk mendukung efisiensi bongkar muat,” ujarnya.
Selain masalah infrastruktur, Yasser juga menyoroti kendala eksternal seperti gangguan pada sistem coretax yang berdampak pada aktivitas ekspor-impor. Ia menilai bahwa kebijakan pemerintah pusat terkait perdagangan di Batam seharusnya lebih fleksibel mengingat status Batam sebagai Free Trade Zone (FTZ).
“Batam memiliki karakteristik khusus sebagai FTZ. Kebijakan nasional yang diterapkan harus melalui kajian mendalam agar sesuai dengan kebutuhan di lapangan,” ucapnya.
Sementara, Direktur Badan Usaha Pelabuhan (BP) Batam, Dendi Gustinandar, menyampaikan komitmennya untuk meningkatkan pelayanan pelabuhan di Batam agar bisa bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan besar seperti di Singapura dan Tanjung Pelepas, Malaysia.
Saat ini, Dendi mengakui bahwa pelayanan pelabuhan di Batam masih belum sebaik pesaingnya. Namun, ia optimistis bahwa perbaikan bertahap akan membawa perubahan signifikan.
“Kalau soal volume, tetap stabil. Yang perlu kita tingkatkan adalah efisiensi dan kualitas pelayanan,” terangnya.
Salah satu capaian yang telah diraih BP Batam adalah penurunan biaya logistik sebesar 10% pada 2024. Sebelumnya, biaya ini bertahan di angka 100% selama puluhan tahun. Dendi berharap penurunan ini bisa terus berlanjut, seiring dengan meningkatnya investasi dan pengelolaan pelabuhan yang semakin baik.
Selain itu, ia menyoroti perbedaan mencolok dalam kapasitas layanan pelabuhan. “Singapura sudah menangani 40 juta TEUs, sementara Pelabuhan Batu Ampar baru sekitar 530-540 ribu TEUs. Ini selisih yang sangat jauh,” ungkapnya.
Untuk mengejar ketertinggalan ini, BP Batam menyiapkan berbagai langkah strategis, termasuk peningkatan infrastruktur dan efisiensi operasional. Dendi optimistis bahwa dengan langkah yang tepat, Batam bisa sejajar dengan pelabuhan kelas menengah di kawasan ini.(hbb)