Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat ada 16 kasus perundungan di satuan pendidikan selama Januari- Juli 2023. Dari jumlah tersebut, mayoritas terjadi di jenjang pendidikan SD (25 persen) dan SMP (25 persen). Kemudian, SMA dan SMK masing-masing 18,75 persen, MTs 6,25 persen, dan Pondok Pesantren 6,25 persen.
Kemudian, jika dilihat waktunya, 4 diantaranya terjadi pada Juli, di saat tahun ajaran 2023/2024 belum berlangsung satu bulan. Adapun perundungan pada Juli ini terjadi terhadap 14 siswa SMP di Kabupaten Cianjur yang mengalami kekerasan fisik. Alasannya, terlambat ke sekolah, kekerasan fisik dijemur, dan ditendang dilakukan oleh kakak kelas yang sudah duduk di bangku SMA/SMK. Kasus lain terjadi di salah satu SMAN di kota Bengkulu, di mana 1 siswi yang didiagnosa autoimun mengalami perundungan dari 4 guru dan sejumlah teman sekelasnya. Ada pula kasus penusukan siswa korban bully ke siswa yang diduga kuat kerap membully di salah satu SMA di Samarinda.
Catatan terakhir, kejadian di Rejang lebong, Bengkulu, di mana seorang guru olahraga yang menegur sambil menendang peserta didik karena kedapatan. Tidak terima anaknya ditendang, orangtua si anak pun akhirnya menyerang mata si guru dengan ketapel hingga pecah dan mengalami kebutaan permanen.
”Jumlah korban perundungan di satuan pendidikan total 43 orang,” ujar Sekjen FSGI Heru Purnomo. Heru merinci, dari jumlah tersebut 41 peserta didik (95,4 persen) dan 2 guru (4,6 persen).
Adapun pelaku perundungan didominasi oleh peserta didik yaitu sejumlah 87 peserta didik (92,5 persen). Sisanya, oleh pendidik yakni sebanyak 5 pendidik (5,3 persen), 1 orangtua peserta didik (1,1 persen) , dan 1 Kepala Madrasah (1,1 persen).
”Artinya, korban terbesar adalah peserta didik yaitu 95,4 persen dengan pelaku perundungan terbanyak juga peserta didik, yaitu 92,5 persen,” paparnya.
Diakui Heru, sebagian besar kasus perundungan ini terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek. Sementara, satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama hanya 2 kasus. Meski demikian, dalam 2 kasus yang terdeteksi, jumlah korban mencapai 16 peserta didik.
Terkait kejadian ini, FSGI mengecam dan menyayangkan segala bentuk kekerasan yang terjadi. Apalagi, jika dilakukan dalam Lembaga Pendidikan.
FSGI juga mendorong dinas pendidikan untuk proaktif. Bagi Dinas Pendidikan Provinsi Bengkulu, diminta untuk melakukan evaluasi terhadap perlindungan guru sebagaimana ketentuan dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Terutama saat guru tengah melaksanakan tugas dan fungsinya memberikan pembelajaran di sekolah, di mana peristiwa penyerangan orangtua siswa terhadap guru di SMAN 7 Rejang Lebong terjadi saat guru sedang mengajar.
Kemudian, bagi Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan, Heru meminta adanya evaluasi terhadap sekolah terkait perlindungan dan keamanan bagi peserta didik selama berada di lingkungan sekolah. Lantaran, ada siswa yang lolos dari pengawasan hingga membawa pisau ke dalam kelas dan menyerang anak korban.
”Kami juga mendorong Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di kedua provinsi tersebut melakukan asesmen psikologi terhadap para siswa yang menyaksikan kasus penyerangan saat di kelas,” tuturnya.
Terkait kasus hukum, Heru meminta agar pihak kepolisian bisa memberikan keadilan bagi semua pihak. ”FSGI mendorong Itjen Kemendikbudristek untuk agar dapat melakukan penuntasan penanganan kasus ini, agar kedepannya ada pembenahan dalam lingkungan SMAN 7 Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada khususnya, dan seluruh SMA/SMK di provinsi Bengkulu pada umumnya,” pungkas Heru.
Kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan juga jadi sorotan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Secara khusus mereka menyoroti kasus kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren. Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga (PRK) Badriyah Fayumi mengatakan, persoalan kekerasan seksual di lingkungan pesantren tidak bisa diabaikan.
Dia mengajak penjatuhan tindak tegas bagi para pelaku kekerasan seksual. “Terlebih apabila aksi tersebut dilakukan di lingkungan Pondok Pesantren,” katanya. Menurut dia, oknum pelaku kekerasan seksual itu tidak hanya merusak masa depan anak-anak. Tetapi juga merusak nama baik lembaga pesantren di mata masyarakat.
Badriah menuturkan, predator seksual yang berada di lingkungan pesantren justru lebih menakutkan ketimbang di lembaga pendidikan lain. Pasalnya para orang tua menitipkan anaknya selama 24 jam kepada pihak pengurus pesantren. Baginya apabila keamanan para santri terancam, proses belajar tidak akan terselenggara dengan baik.
“Jika hal tersebut tidak dapat diatasi bukan tidak mungkin bahwa para santrilah yang menjadi korban beruntun,” jelasnya. Dia menuturkan, tempat kekerasan seksual tidak hanya di pesantren. Tapi juga bisa terjadi di lembaga pendidikan agama lainnya, yang umumnya terdapat fasilitas asrama. Lembaga pendidikan seperti itu, perlu mendapatkan perhatikan dengan baik.
Badriyah mengungkapkan bahaya predator seksual yang berkeliaran di pesantren adalah asumsi bahwa pesantren adalah tempat yang aman. Kemungkinan aksi mereka diketahui juga sangatlah kecil. Anggapan-anggapan seperti itu, menjadi tantangan bagi setiap pendidik dan guru yang ada di lingkungan pesantren. Sebab yang menjadi korban bukan lah santri semata, tetapi juga keluarga korban.
“Mayoritas santri di pesantren adalah anak-anak,” katanya. Terlebih relasi kuasa juga masih lekat dengan budaya-budaya di pesantren. Baginya kondisi itu menjadi pekerjaan rumah bersama untuk menjaga anak-anak kita dalam proses belajar yang aman dan nyaman.
Sementara itu Menag Yaqut Cholil Qoumas meneken Nota Kesepahaman (MoU) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan pada Satuan Pendidikan di Gedung Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi, Jakarta pada Jumat (4/8) lalu. “Kami menyambut baik dan mendukung pencegahan serta penanganan kekerasan pada satuan pendidikan,” katanya.
Yaqut menuturkan saat ini meskipun masih ada, kasus intoleransi di dunia pendidikan sudah berkurang. Namun kasus perundungan dan kekerasan seksual itu masih banyak ditemukan di lembaga-lembaga pendidikan. Termasuk di dalamnya lembaga pendidikan yang ada di bawah Kementerian Agama.
Yaqut berharap penandatanganan nota kesepahaman itu, bisa menjadi ikhtiar untuk menjauhkan peserta didik dari tindakan kekerasan. “Semoga ikhtiar kita bersama ini dalam rangka menjamin dan memastikan satuan pendidikan ramah anak dan menjadikan satuan pendidikan sebagai tempat yang paling aman dari kasus-kasus perundungan dan kekerasan seksual ini bisa segera kita wujudkan,” jelasnya.(JP Group)